-
TINTA MUFTI BIL. 3/2020: BERSAMA MEMBANGUN NEGARA
Tinta Mufti Bil. 3/2020: Bersama Membangun Negara adalah sepert...
Home
AL KAFI #1035 : HUKUM MINTA ORANG SOLEH DOAKAN
- Details
- Uploaded by Muhammad Fahmi Rusli

Soalan:
Assalamualaikum Tuan Mufti, apakah hukumnya bagi saya untuk meminta orang lain mendoakan saya khususnya apabila saya bertemu dengan orang-orang soleh dan para ulama ?
Jawapan:
Wa’alaikumussalam w.b.t.
Alhamdulillah segala puji dan syukur kepada Allah S.W.T. Selawat dan salam kami panjatkan ke atas junjungan besar Nabi Muhammad S.A.W, para isteri dan keluarga baginda, para sahabat yang mulia, seterusnya golongan yang mengikuti jejak langkah baginda sehingga hari kiamat.
Perbuatan berdoa adalah suatu ibadah yang sangat dituntut di dalam Islam. Terdapat banyak nas yang sahih daripada al-Quran dan juga al-Sunnah yang menerangkan tentang kepentingan berdoa kepada Allah S.W.T. Di antaranya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh An-Nu’man bin Basyir R.A bahawa Rasulullah S.A.W bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
Maksudnya: Berdoa itu adalah suatu ibadah.
Kemudian baginda membaca firman Allah S.W.T:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Maksudnya: Dan telah berkata Tuhan kamu: “Berdoalah kamu semua kepada-Ku nescaya Aku akan memustajabkan buat kamu”.
Riwayat Abu Daud (1479)
Berdasarkan hadis dan ayat di atas, berdoa itu bukan sekadar suatu ibadah, bahkan ia merupakan suatu perintah dari Allah S.W.T buat sekalian para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya. Bukan sekadar itu, Allah S.W.T turut memberikan jaminan bahawa Dia akan memustajabkan sebarang permintaan hamba-Nya. Hal ini secara jelas menggambarkan peri pentingnya ibadah doa, sehingga menjadi suatu arahan dan tuntutan kepada seseorang hamba untuk melakukannya.
Imam al-Hafiz Ibn Kathir Rahimahullah apabila menafsirkan ayat ini, beliau menukilkan kata-kata Imam Sufyan al-Tsauri: ‘’Wahai hamba-hamba yang paling dicintai-Nya, adalah mereka yang meminta kepada-Nya dan banyak permintaannya. Dan golongan yang dimurkai Allah dari kalangan hamba-Nya adalah mereka yang tidak meminta kepada-Nya’’.
Beliau juga turut menukilkan kata-kata penyair: ‘’Allah itu murka sekiranya kamu tidak meminta (berdoa) kepada-Nya. Manakala anak Adam (manusia) itu, berasa marah apabila diminta sesuatu (darinya)’’. Lihat Tafsir al-Quran al-Azhim, Ibn Kathir (7/156).
Minta Doa Dari Orang Soleh
Merujuk kepada soalan yang dikemukakan, sebenarnya perbuatan meminta doa dari orang-orang soleh ini ada asasnya di dalam nas-nas syarak. Berikut kami kongsikan beberapa riwayat berkenaan hal ini.
Dalam sebuah hadis yang panjang dalam menceritakan perihal Uwais bin ‘Amir Al-Qarani, Rasulullah S.A.W berkata kepada Saidina Umar:
فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ
Maksudnya: Sekiranya kamu mampu untuk meminta dia (Uwais Al-Qarani) beristighfar (mendoakan keampunan) buat diri kamu maka lakukanlah.
Riwayat Muslim (2542)
Berdasarkan hadis ini, Uwais Al-Qarani disifatkan oleh Rasulullah S.A.W sebagai seorang lelaki yang sangat baik dan taat kepada ibunya. Ini menandakan dirinya merupakan seorang yang soleh meski tidak tergolong dalam kalangan para sahabat Nabi. Justeru, Nabi S.A.W memberikan panduan kepada Umar sekiranya ada peluang berjumpa dengan Uwais, maka mintalah Uwais mendoakan keampunan Allah buat diri Umar.
Inilah petunjuk jelas yang menggambarkan anjuran kepada perbuatan meminta doa dari orang-orang soleh serta dalil keharusan amalan ini.
Demikian juga berdasarkan sebuah riwayat daripada Saidina Umar R.A beliau berkata: Aku pernah meminta izin kepada Rasulullah S.A.W untuk menunaikan umrah lalu baginda memberi izin kepada ku dan berkata:
لاَ تَنْسَنَا يَا أُخَىَّ مِنْ دُعَائِكَ
Maksudnya: Janganlah kamu melupakan kami dari doamu wahai saudaraku.
Riwayat Abu Daud (1498)
Hadis di atas juga menunjukkan keharusan meminta doa dari orang soleh. Bahkan dibolehkan untuk seseorang itu yang berada pada puncak keilmuan dan ketakwaan untuk meminta orang lain yang lebih rendah kedudukan darinya untuk mendoakan dirinya.
Begitu juga sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik R.A beliau berkata:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ـ رضى الله عنه ـ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا.
Maksudnya: Umar bin Al-Khattab apabila berlakunya kemarau meminta kepada Abbas bin Abd al-Muthalib untuk meminta hujan (kepada Allah). Lalu Umar berkata: ‘’Ya Allah, kami dahulunya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami lalu Kau menurunkan hujan kepada kami. Sesungguhnya sekarang kami bertawassul dengan bapa saudara Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami’’.
Riwayat Al-Bukhari (1010)
Riwayat di atas menunjukkan bahawa Saidina Umar menjadikan doa orang soleh iaitu Al-Abbas bin Abd al-Muthalib sebagi wasilah (perantaraan) antara dirinya dengan Tuhan. Dari sudut Saidina Umar meminta kepada Al-Abbas agar berdoa kepada Allah supaya hujan diturunkan.
Kesimpulan
Sebagai penutup, kami menyatakan bahawa hukum meminta doa dari para solehin adalah dibolehkan. Di samping kita sendiri turut berusaha untuk menjadi sebahagian orang-orang soleh, kita juga meminta kepada para solehin untuk mendoakan kebaikan buat kita di dunia dan di akhirat.
Akhir kalam, semoga Allah S.W.T memberikan kefahaman yang tepat kepada kita dalam beragama. Ameen.
AL-KAFI #902: THE RULING OF CURSING THE RAIN
- Details
- Uploaded by Muhammad Fahmi Rusli
Question:
Assalamualaikum wbt, sir. Now, since it is the monsoon season, we find that there are people who complained about the rain and some even curse the rain itself, for in their opinion it is just a hindrance in their work and daily lives. What is your opinion regarding this?
Answer:
Waalaikumussalam wbt,
Alhamdulillah, praise and thanks to Allah for the many countless blessings He has blessed us all with. Blessings and salutations to the Prophet Muhammad PBUH, his wives, his family, companions and all those that follow his teachings to the day of judgement.
Basically, rainfall has its own season (monsoon season) according to certain locations. As an example, the Meteorology department state that Malaysia will experience the annual Northeast Monsoon from November to March. Northeast Monsoon will result in heavy rain especially in the states on the east coast of Peninsular Malaysia and west of Sarawak. [1]
Hence, there will be heavy rainfall during these times compared to other times in Malaysia. It is similar to the syita’ (cold) season for countries located in the middle east, during which time the frequency of rainfall is high.
Thus, when one curses the rain, then in truth he is cursing a certain season or time. In a hadith from Abu Hurairah RA, the Prophet PBUH said:
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
"Allah said: "The son of Adam hurts Me by abusing Time, for I am Time; in My Hands are all things and I cause the revolution of night and day.' "
Sahih al-Bukhari (7491)
Imam al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani commented on the above hadith, citing the words of Imam al-Khattabi, where he said: The meaning of the hadith is: “I (Allah) is the owner of time and manages anything that is related to time.”. Then anyone who curses time due to certain reasons, then his curse returns back to Allah who are in charge of time. Indeed, Al-Dhar is time and is the zharaf for anything that’s happening. Refer Fath Al-Bari, Ibn Hajar (8/437).
The above hadith is clear guidance stating that cursing time is the same as cursing Allah SWT. Hence, this act is clearly prohibited. Another hadith that states the prohibition of such act is narrated by Abu Hurairah RA, where the Prophet PBUH said:
لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الدَّهْرُ
“Let none of you complains about time, for Allah is time.”
Sahih Muslim (2246)
In the above hadith, there is a clear la al-Nihayah (prohibition) which results in the prohibition ruling of it according to fiqh.
Conclusion
To close, we would like to state that it is prohibited to curse the rain. The reason is Allah SWT is the one who sent the rain down, and thus, cursing the rain in truth is a curse towards the one who sent it down in the first place, which is Allah SWT. Basically, rain is a blessing from Allah SWT. Furthermore, it is encouraged for a Muslim who experiences rain in his place to supplicate as the following:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ صَيِّبًا نَافِعًا
“O Allah, make it beneficial rain,”
Sunan al-Nasaie (1523)
This is the manner taught to us in sunnah nabawiyyah to supplicate to Allah SWT so that everything that happens to us is of benefit. This is prioritized incurring the feeling of redha (contentment) of a slave towards Allah SWT for everything that He did for us according to His wisdom and His knowledge for all His creations.
Moreover, this prohibition is not limited to cursing the rain. But believing in bad luck and cursing anything such as certain time, month, year or drought, then it is also prohibited, for Allah SWT is the one who manages it all.
Lastly, may Allah SWT give us the correct understanding in practising the religion. Ameen.
Wallahua’lam.
End Notes:
[1] See http://www.met.gov.my/pendidikan/cuaca/fenomenacuaca
AL-KAFI #880: THE RULING OF STANDING IN PRAYER WITHOUT LOOKING AT THE PLACE OF PROSTRATION
- Details
- Uploaded by Muhammad Fahmi Rusli
Question:
Assalamualaikum wrm.wbt.,
Can you please explain the ruling for a person who prays but his eyes are not focused or look at the place of prostration?
Answer:
Waalaikumussalam wrm. wbt.
Alhamdulillah, praise and thanks to Allah for the countless blessings He has blessed us all with. Blessings and salutations to the Prophet Muhammad PBUH, his wives, his family, companions and all those that follow his teachings to the day of judgement.
In this issue, we should know that there is a restriction of looking up at the sky when praying. This is in accordance with a hadith narrated by Anas bin Malik RA, where the Prophet PBUH said:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلاَتِهِمْ
"How is it that some people raise their eyes towards the sky during As-Salat (the prayer)?"
He stressed (this point) and added,
لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
"People must refrain from raising their eyes towards heaven in Salat (prayer), or else their sights will certainly be snatched away."
Sahih al-Bukhari (750)
The above hadith clearly shows the great restriction against looking at the sky when praying. However, the scholars have differing opinions in determining the restriction, whether it is haram or makruh.
Imam al-hafiz Ibn Hajar al-Asqalani in his commentary of the above hadith cited the words of Imam Ibn battal who said: Scholars have agreed that it is makruh to look up when praying. See Fath Al-Bari, Ibn Hajar (2/272).
We would like to state that the claim made by Imam Ibn Battal regarding the agreement of scholars does not mean that there are no other scholars who ruled a different ruling. Furthermore, Syeikh Syams al-Haq al-Azhim Abaadi said: “Apparently, looking up when praying is haram. The reason is the punishment of their eyesight will be snatched will not happen unless the act is haram. The famous opinion according to Syafi’iyyah scholars state that it is makruh. While Ibn Hazm had excessively ruled that the act would invalidate the prayer.” See ‘Aun Al-Ma’bud, Al Azhim Abaadi (3/134).
The wisdom for restriction in the hadith is stated by al-Qadhi Iyadh Rahimahullah: “Looking up in prayer give a small indication of looking away from the qibla and deviate from the hai’ah (movement) in prayer.” See Fath Al-Bari, Ibn Hajar (2/272).
Furthermore, scholars have also discussed regarding the place a person should look at while praying. Most of them are of the opinion that it is sunnah for a person to pray by focusing their view towards the place of prostration. This is as stated by Imam Ibn Hajar who cited the statement of Muhammad Ibn Sirin who said:
“The previous people (the Companions) turns away in prayer until the following statement of Allah SWT was revealed:
قَد أفْلَحَ المُؤمِنُون الَّذِينَ هُم فِي صَلاتِهِم خَاشِعُون
“Certainly, will the believers have succeeded: They who are during their prayer humbly submissive.”
Surah al-Mu’minuun (1-2)
Hence, they turned back facing their faces in prayer (pray humbly submissive) and look in front of them. And they encouraged one another to not face away from their place of prostration. Refer Fath Al-Bari, Ibn Hajar (2/272).
Conclusion
To close, after analyzing the above presented arguments, we would like to state it is makruh for a person to not look at his place of prostration when he is praying. Which means he is looking to his left or right, or looking upwards. The reason is these actions is far from the concept of prayer of which calls for a person to be humbly submissive, khudu’ (looking down) and concentrate. Whereas, it is sunnah to look down towards the place of prostration.
Lastly, may Allah SWT give us all the correct understanding in religion. Amin.
AL-KAFI #868: HUKUM TIDUR BERDUAAN DI DALAM SELIMUT YANG SAMA
- Details
- Uploaded by Muhammad Fahmi Rusli
Soalan:
Assalamualaikum, bolehkah pihak Tuan memberikan penjelasan berkenaan hukum tidur di dalam selimut yang sama seperti yang selalu berlaku di asrama.
Jawapan:
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T. Selawat dan salam kami ucapkan ke atas junjungan besar Nabi Muhammad S.A.W, para isteri dan keluarga baginda, seterusnya golongan yang mengikuti jejak langkah baginda sehingga hari kiamat.
Dalam isu ini terdapat petunjuk nabawi yang disampaikan melalui sebuah hadis riwayat daripada Abu Sa’id al-Khudri bahawa Rasulullah S.A.W bersabda:
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
Maksudnya: Tidak boleh untuk seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki yang lain, dan tidak boleh bagi seorang perempuan untuk melihat aurat perempuan yang lain. Serta tidak boleh untuk seorang lelaki berbaring dengan lelaki yang lain di dalam selimut yang sama demikian juga tidak boleh untuk seorang perempuan berbaring dengan perempuan yang lain di bawah selimut yang sama.
Riwayat Muslim (338)
Dalam mensyarahkan hadis ini, Imam Al-Nawawi Rahimahullah berkata: Pada hadis ini menunjukkan kepada haramnya seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki[1] dan haramnya seorang perempuan untuk melihat aurat perempuan yang lain. Demikian juga haram bagi seorang lelaki untuk melihat kepada aurat seorang perempuan dan haram bagi seorang perempuan untuk melihat aurat lelaki secara ijma’.
Kata al-Nawawi lagi: (Larangan berbaring di dalam pakaian atau selimut yang satu terhadap dua orang lelaki) adalah larangan yang menunjukkan kepada pengharaman sekiranya tidak ada lapik antara mereka berdua. Pada hadis ini menunjukkan keharaman menyentuh aurat orang lain pada setiap tempat dari badannya. Ini adalah perkara yang telah disepakati serta menjadi perkara yang diketahui umum. Orang ramai telah bermudah-mudahan dalam isu ini dengan berkumpulnya mereka di dalam bilik mandi yang sama. Maka wajib kepada mereka yang berada di situ untuk memelihara pandangan, tangan, dan anggota lainnya terhadap aurat orang lain. Juga wajib untuk dia memelihara aurat dirinya dari perhatian dan tangan orang lain. Lihat Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim, Al-Nawawi (4/25).
Imam Syams al-Haq Al-Azhim Abaadi pula dalam syarahannya ke atas hadis ini menukilkan kenyataan penulis kitab Al-Misbah terhadap perkataan ولا يفضي الرجل إلى الرجل yang berkata:
Seorang lelaki yang meletakkan dengan tangannya ke tanah, iaitu menyentuhnya dengan bahagian dalam tangannya. Meletakkan ke seorang perempuan, bererti dia menyentuhnya. Meletakkan kepada sesuatu pula bererti dia menyambungkan atau berhubung dengannya. Pada hadis ini larangan terhadap seorang lelaki untuk berbaring dengan lelaki yang lain di dalam selimut yang sama. Demikian juga tidak boleh bagi seorang perempuan dengan perempuan yang lain. Sama ada antara keduanya itu ada penghadang atau tidak, iaitu dalam keadaan keduanya tidak berpakaian.
Syeikh Al-Azhim Abaadi juga menukilkan kata-kata Al-Thibi yang menyebut: Tidak boleh untuk dua orang lelaki berbaring di bawah selimut yang sama dalam keadaan keduanya tidak berpakaian (telanjang). Demikian juga orang perempuan. Sesiapa yang melakukan perbuatan ini perlu ditakzir. Rujuk ‘Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, Shams Al-Haq Al-Azhim Abaadi (11/43).
Kesimpulan
Setelah kami meneliti beberapa hujahan yang dikemukakan oleh para fuqaha di atas, kami menyatakan bahawa kita hendaklah menekuni beberapa perkara yang berikut:
- Hadis tersebut menitikberatkan isu aurat antara sesama jenis. Dari sudut menyatakan pengharaman ke atas seorang lelaki dan perempuan untuk melihat dan menyentuh aurat kaum sejenis tanpa sebarang keperluan.
- Oleh yang demikian, larangan berbaring di bawah selimut yang satu bagi dua orang lelaki adalah bagi mengelakkan berlakunya sentuhan dan penglihatan terhadap aurat satu sama lain. Kerana itu dihuraikan oleh para ulama: dalam keadaan keduanya tidak berpakaian.
- Hadis ini tidak merujuk kepada pasangan suami isteri. Bahkan dalam mazhab Imam Al-Syafie, boleh bagi seorang suami melihat seluruh aurat isteri dan begitulah sebaliknya, melainkan ada pengecualian pada bahagian kemaluan.[2]
- Sekiranya kedua-dua orang lelaki itu berpakaian lengkap menutup aurat, tetapi cuaca dan suhu sekeliling dalam keadaan sejuk, lalu kedua mereka tidur di bawah selimut atau comforter, maka ia tidaklah termasuk dalam perbuatan yang dilarang dalam hadis ini mudah-mudahan.
- Namun, secara asasnya adalah kita memisahkan tempat tidur antara satu sama lain, bagi tujuan mengelakkan perkara-perkara yang boleh membawa kepada keharaman.
Akhir kalam, semoga Allah S.W.T memberikan kefahaman yang tepat kepada kita semua dalam beragama. Ameen.
[1] Dalam mazhab Imam Al-Syafi’e, aurat lelaki sesama lelaki adalah apa-apa yang berada antara pusat hingga lutut. Demikianlah juga aurat antara perempuan dengan perempuan yang lain.
[2] Isu hukum memandang kemaluan pasangan mempunyai perbahasan yang panjang dalam mazhab dan kami tidak memperincikannya di sini.
AL-KAFI #836: THE RULING OF BURPING IN PRAYER
- Details
- Uploaded by Muhammad Fahmi Rusli
Question:
Assalamualaikum, I want to ask regarding the ruling of someone who burped in prayer. Does it invalidate the prayer the same way as someone who farted?
Answer:
Alhamdulillah, praise and thanks to Allah for the countless blessings He has blessed us all with. Blessings and salutations to the Prophet Muhammad PBUH, his wives, his family, companions and all those that follow his teachings to the day of judgement.
Definition of Burp
al-Syeikh Abu al-Abbas ‘Ali al-Fayyumi defined burp as: voice with gas expelled from mouth when one is full. Refer to Al-Misbah Al-Munir, Al-Fayyumi (1/102).
While in Al Tanwir Syarah al-Jami’ al-Saghir, it is defined as: Gas expelled from the stomach when it is filled (when one is full). Refer to Al-Tanwir, Al-Son’aani (8/152).
According to Kamus Dewan, burp is a sound from the throat when one is full or others. See 4th Edition Kamus Dewan.
Discussion Regarding Burp
Basically, the act of burping itself was rebuked by the Prophet PBUH. This is in accordance with a narration from Ibn Umar RA, where he said:
تَجَشَّأَ رَجُلٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ كُفَّ عَنَّا جُشَاءَكَ فَإِنَّ أَكْثَرَهُمْ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“A man belched in the presence of the Prophet PBUH, so he said: 'Restrain your belching from us. For indeed those who are filled most in the world will be the hungriest on the Day of Judgement.”
Sunan al-Tirmizi (2478)
The above hadith shows that the act of burping (belching) is restricted in terms of the act itself.
Imam al Manawi commented on the above hadith saying: The restriction of burping is actually on the prohibition of burping when one is extremely full, which is a reproachable act from the medical and Islamic perspective. Refer Faidhul Qadir, Al Munawi (5/11).
However, the restriction of burping is only applicable if it is due to excessive eating. In truth, it is a bad deed for extreme fullness would lead to other negative actions such as laziness in worship and sins.
As accidental burping, such as when one is experiencing gas in the digestive tract, then it is not an offense. However, among the ethics and manners is to not accidentally burp in front of others.
Burping in Prayer
This issue has its very own discussion among scholars of fiqh in terms of whether the act of burping itself will invalidate someone’s prayer or not.
Basically, burping is not included as the matters that invalidate prayer as explained in several authentic narrations. This means, there is no evidence from syarak which state burping will invalidate prayer.
However, some fiqh scholars said that through qiyas (analogical deduction) that if the Prophet PBUH prohibit burping outside of prayer, then surely it is prohibited in prayer.
Conclusion
To close, we would like to state that burping does not invalidate the prayer. However, it is a discourteous act in prayer and could even lead to the ruling of makruh (undesirable) if it produces a bad smell that disturb others. Whereas, for the question of whether burping has the same effect as farting, then the answer is not at all. The reason is, farting refers to gaseous expelled from the anus which is different from burping.
May Allah SWT give us deep understanding in our religion. Ameen.
Copyright © 2017 Mufti of Federal Territory Office
Best viewed using latest browser for Internet Explorer 10.0 and above,
Mozilla Firefox 3.0 and above & Google Chrome with resolution of 1280 x 800
- Updated Date : 15 April 2021.